Berikut ini adalah dalil-dalil yang di
jadikan pijakan untuk mendukung pendapat jumlah rekaat sholat tarawih.
1. Hadis mauquf.
وعن ابن شهاب عن عروة بن الزبير عن عبد الرحمن بن عبد القاري، أَنَّهُ قَالَ : خَرَجْت مَعَ عُمَرَ بْنِ
الْخَطَّابِ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إلَى الْمَسْجِدِ ، فَإِذَا النَّاسُ
أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ
فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ . فَقَالَ عُمَرُ : إنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ
هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ، ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ
عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ . ثُمَّ خَرَجْت مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ
يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ . قَالَ عُمَرُ : نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ…
“Diriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari
`Urwah bin al-Zubair, dari Abd. Rahman bin Abd. al-Qari, ia berkata: “Pada
suatu malam di bulan Ramadhan, saya keluar ke masjid bersama Umar bin
al-Khatthab. Kami mendapati masyarakat terbagi menjadi beberapa kelompok yang
terpisah-pisah. Sebagian orang ada yang shalat sendirian. Sebagian yang lain
melakukan shalat berjamaah dengan beberapa orang saja.
Kemudian Umar berkata: “Menurutku akan
lebih baik jika aku kumpulkan mereka pada satu imam.” Lalu Umar berketetapan
dan mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka`ab. Pada kesempatan malam yang lain,
aku (Rahman bin Abd. al-Qari) keluar lagi bersama Umar. (dan aku menyaksikan)
masyarakat melakukan shalat secara berjamaah mengikuti imamnya. Umar berkata:
“Ini adalah sebaik-baik bid`ah…” (HR. Bukhari).
Di dalam hadis yang lain disebutkan,
bilangan rakaat shalat Tarawih yang dilaksanakan pada masa Khalifah Umar bin
al-Khatthab adalah dua puluh.
عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : (كَانُوا
يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي
شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً.
“Diriwayatkan dari
al-Sa`ib bin Yazid radhiyallahu `anhu. Dia berkata : “Mereka (para shahabat)
melakukan qiyam Ramadhan pada masa Umar bin al-Khatthab sebanyak dua puluh
rakaat.”
Hadis kedua ini diriwayatkan oleh Imal al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-Kubro, I/496. dengan sanad yang shahih sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-`Aini, Imam al-Qasthallani, Imam al-Iraqi, Imam al-Nawawi, Imam al-Subki, Imam al-Zaila`i, Imam Ali al-Qari, Imam al-Kamal bin al-Hammam dan lain-lain.(10)
Menurut disiplin ilmu hadis, hadis ini di sebut hadis mauquf
(Hadis yang mata rantainya berhenti pada shahabat dan tidak bersambung pada
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam). Walaupun mauquf, hadis
ini dapat dijadikan sebagai hujjah dalam pengambilan hukum (lahu
hukmu al-marfu`). Karena masalah shalat Tarawih termasuk jumlah rakaatnya
bukanlah masalah ijtihadiyah (laa majala fihi li al-ijtihad),
bukan pula masalah yang bersumber dari pendapat seseorang (laa yuqolu min
qibal al-ra`yi).(11)
2. Ijma` para shahabat Nabi.
Ketika Sayyidina Ubay bin Ka`ab mengimami shalat
Tarawih sebanyak dua puluh rakaat, tidak ada satupun shahabat yang protes,
ingkar atau menganggap bertentangan dengan sunnah Nabi shallallahu alaihi wa
sallam. Apabila yang beliau lakukan itu menyalahi sunnah Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam, mengapa para shahabat semuanya diam? Ini menunjukkan
bahwa mereka setuju dengan apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ubay bin Ka`ab.
Anggapan bahwa mereka takut terhadap Sayyidina Umar bin al-Khatthab adalah
pelecehan yang sangat keji terhadap para shahabat. Para shahabat Nabi shallallahu
alaihi wa sallam adalah orang-orang yang terkenal pemberani dan tak kenal
takut melawan kebatilan, orang-orang yang laa yakhofuna fi Allah laumata
laa`im. Bagaimana mungkin para shahabat sekaliber Sayyidina Ali bin Abi
Thalib, Sayyidina Utsman bin Affan, Sayyidina Abu Hurairah, Sayyidah A`isyah
dan seabrek shahabat senior lainnya (radhiyallahu `anhum ajma`in) kalah
berani dengan seorang wanita yang berani memprotes keras kebijakan Sayyidina
Umar bin al-Khatthab yang dianggap bertentangan dengan Al-Qur`an ketika beliau
hendak membatasi besarnya mahar?(12)
Konsensus (ijma`) para shahabat ini kemudian
diikuti oleh para tabi`in dan generasi setelahnya. Di masjid al-Haram Makkah,
semenjak masa Khalifah Umar bin al-Khatthab radhiyallahu `anhu hingga
saat ini, shalat Tarawih selalu dilakukan sebanyak dua puluh rakaat. KH. Ahmad
Dahlan, pendiri Perserikatan Muhammadiyah juga melakukan shalat Tarawih
sebanyak dua puluh rakaat, sebagaimana informasi dari salah seorang anggota
Lajnah Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang sekaligus pembantu Rektor
Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA. Para ulama salaf tidak ada yang
menentang hal ini. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai kebolehan melakukan
shalat Tarawih melebihi dua puluh rakaat.(13)
Imam Ibnu Taimiyah yang di agung-agungkan oleh
kelompok pendukung Tarawih delapan rakaat, dalam kumpulan fatwanya mengatakan:
“Sesungguhnya telah tsabit (terbukti) bahwa Ubay bin
Ka`ab mengimami shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan Witir tiga
rakaat. Maka banyak ulama berpendapat bahwa hal itu adalah sunnah, karena Ubay
bin Ka`ab melakukannya di hadapan para shahabat Muhajirin dan Anshar dan tidak
ada satupun di antara mereka yang mengingkari…”(14)
Di samping kedua dalil yang sangat kuat di atas, ada
beberapa dalil lain yang sering digunakan oleh para pendukung Tarawih dua puluh
rakaat. Namun, menurut hemat penulis, tidak perlu mencantumkan semua
dalil-dalil tersebut. Karena di samping dha`if, kedua dalil di atas
sudah lebih dari cukup.
Dalil Tarawih 8 Rakaat
Sebagian ulama ada yang berpendapat
shalat Tarawih delapan rakaat lebih afdhal. Bahkan ada yang ekstrim,
yaitu sebagian umat Islam yang berkeyakinan shalat Tarawih tidak boleh melebihi
delapan rakaat. Syekh Muhammad Nashir al-Din al-Albani berpendapat bahwa shalat
Tarawih lebih dari sebelas rakaat itu sama saja dengan shalat Zhuhur lima
rakaat.(15)
Berikut ini adalah beberapa dalil yang biasa mereka
gunakan untuk membenarkan pendapatnya sekaligus sanggahannya.
1. Hadis Ubay bin Ka`ab :
أخبرنا أحمد
بن علي بن المثنى ، قال : حدثنا عبد الأعلى بن حماد ، قال : حدثنا يعقوب القمي ،
قال : حدثنا عيسى بن جارية ، حدثنا جابر بن عبد الله ، قال : جاء أبي بن كعب إلى
النبي صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله ، إنه كان مني الليلة شيء – يعني في
رمضان – قال : وما ذاك يا أبي ؟ قال : نسوة في داري قلن : إنا لا نقرأ القرآن ،
فنصلي بصلاتك ، قال : فصليت بهن ثماني ركعات ، ثم أوترت ، قال : فكان شبه الرضا ، ولم يقل شيئا.
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata : “Ubay bin Ka`ab
datang menghadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu berkata : “Wahai
Rasulullah tadi malam ada sesuatu yang saya lakukan, maksudnya pada bulan
Ramadhan.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam kemudian bertanya: “Apakah itu,
wahai Ubay?” Ubay menjawab : “Orang-orang wanita di rumah saya mengatakan,
mereka tidak dapat membaca Al-Qur`an. Mereka minta saya untuk mengimami shalat
mereka. Maka saya shalat bersama mereka delapan rakaat, kemudian saya shalat
Witir.” Jabir kemudian berkata : “Maka hal itu sepertinya diridhai Nabi
shallallahu alaihi wa sallam dan beliau tidak berkata apa-apa.” (HR. Ibnu Hibban).
Hadis ini kualitasnya lemah sekali. Karena di dalam
sanadnya terdapat rawi yang bernama Isa bin Jariyah. Menurut Imam Ibnu Ma`in
dan Imam Nasa`i, Isa bin Jariyah adalah sangat lemah hadisnya. Bahkan Imam
Nasa`i pernah mengatakan bahwa Isa bin Jariyah adalah matruk (hadisnya
semi palsu karena ia pendusta). Di dalam hadis ini juga terdapat rawi bernama
Ya`qub al-Qummi. Menurut Imam al-Daruquthni, Ya`qub al-Qummi adalah lemah (laisa
bi al-qawi).(16)
2. Hadis Jabir :
حدثنا عثمان
بن عبيد الله الطلحي قال نا جعفر بن حميد قال نا يعقوب القمي عن عيسى بن جارية عن
جابر قال صلى بنا رسول الله صلى الله عليه و سلم في شهر رمضان ثماني ركعات وأوتر.
Dari Jabir, ia berkata : “Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam pernah mengimami kami shalat pada bulan Ramadhan delapan
rakaat dan Witir.” (HR.
Thabarani).(17)
Hadis ini kualitasnya sama dengan Hadis Ubay bin Ka`ab
di atas, yaitu lemah bahkan matruk (semi palsu). karena di dalam
sanadnya terdapat rawi yang sama, yaitu Isa bin Jariyah dan Ya`qub
al-Qummi.(18)
3. Hadis Sayyidah A`isyah tentang shalat Witir :
مَا كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا
فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak pernah
menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas
rakaat.” (Muttafaq
`alaih).
Menurut kelompok pendukung Tarawih delapan rakaat,
sebelas rakaat yang di maksud pada hadis ini adalah delapan rakaat Tarawih dan
tiga rakaat Witir.
Dari segi sanad, hadis ini tidak diragukan lagi
keshahihannya. Karena di riwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan
lain-lain (muttafaq `alaih). Hanya saja, penggunaan hadis ini sebagai
dalil shalat Tarawih perlu di kritisi dan di koreksi ulang.
Berikut ini adalah beberapa kritikan dan sanggahan
yang perlu diperhatikan oleh para pendukung Tarawih delapan rakaat :
1. Pemotongan hadis.
Kawan-kawan yang sering menjadikan hadis ini sebagai
dalil shalat Tarawih, biasanya tidak membacanya secara utuh, akan tetapi
mengambil potongannya saja sebagaimana disebutkan di atas. Bunyi hadis ini
secara sempurna adalah sebagai berikut :
عَنْ أَبِي
سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ أخبره أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ –رضي
الله عنها- : كَيْفَ
كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فِي
رَمَضَانَ ؟ قَالَتْ : مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ
رَكْعَةً ، يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ،
ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ
يُصَلِّي ثَلَاثًا ، قَالَتْ عَائِشَةُ
: فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَتَنَامُ قَبْلَ
أَنْ تُوتِرَ ؟ فَقَالَ : يَا عَائِشَةُ ، إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا
يَنَامُ قَلْبِي.
dari Abi Salamah bin Abd al-Rahman, ia pernah bertanya
kepada Sayyidah A`isyah radhiyallahu `anha perihal shalat yang dilakukan oleh
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan. A`isyah menjawab :
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menambahi, baik pada
bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat. Beliau shalat
empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau
shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian
beliau shalat tiga rakaat. A`isyah kemudian berkata : “Saya berkata, wahai
Rasulullah, apakah anda tidur sebelum shalat Witir?” Beliau menjawab : “Wahai
A`isyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, akan tetapi hatiku tidak tidur.”
Pemotongan hadis boleh-boleh saja dilakukan, dengan
syarat, orang yang memotong adalah orang alim dan bagian yang tidak disebutkan
tidak berkaitan dengan bagian yang disebutkan. Dalam arti, pemotongan tersebut
tidak boleh menimbulkan kerancuan pemahaman dan kesimpulan yang berbeda.(19)
Pemotongan pada hadis di atas, berpotensi menimbulkan kesimpulan berbeda,
karena jika di baca secara utuh, konteks hadis ini sangat jelas berbicara
tentang shalat Witir, bukan shalat Tarawih, karena pada akhir hadis ini,
A`isyah menanyakan shalat Witir kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam.(20)
2. Kesalahan dalam memahami maksud hadis.
Dalam hadis di atas, Sayyidah A`isyah dengan tegas
menyatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah
melakukan shalat melebihi sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun pada
bulan-bulan yang lain. Shalat yang dilakukan sepanjang tahun, baik pada bulan
Ramadhan maupun bulan lainnya, tentu bukanlah shalat Tarawih. Karena shalat
Tarawih hanya ada pada bulan Ramadhan. Oleh karena itu para ulama berpendapat
bahwa hadis ini bukanlah dalil shalat Tarawih. Akan tetapi dalil shalat Witir.
Kesimpulan ini diperkuat oleh hadis lain yang juga
diriwayatkan oleh Sayyidah A`isyah radhiyallahu `anha.
عن عائشة –
رضي الله عنها – : قالت
: « كان النبيُّ -صلى الله عليه وسلم- يُصلِّي من الليل ثلاثَ عَشْرَةَ ركعة ،
منها الوتْرُ وركعتا الفجر ».
Dari A`isyah
radhiyallahu `anha, ia berkata : “Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat
malam tiga belas rakaat, antara lain shalat Witir dan dua rakaat Fajar.” (HR. Bukhari).(21)
3. Pemenggalan Hadis.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kawan-kawan
pendukung Tarawih delapan rakaat mengatakan bahwa maksud dari pada sebelas
rakaat pada hadis di atas adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir.
Hal ini tidak tepat. Karena ini berarti satu hadis yang merupakan dalil untuk
satu paket shalat dipenggal menjadi dua, delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat
Witir.(22)
Di sisi lain, jika kita menyetujui pemenggalan ini,
maka kita harus menyetujui bahwa selama bulan Ramadhan Nabi shallallahu
alaihi wa sallam hanya melakukan shalat Witir tiga rakaat saja. Ini tidak
pantas bagi beliau yang merupakan tauladan bagi umat dalam hal ibadah. Imam
al-Tirmidzi mengatakan : “Diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wa
sallam shalat Witir 13, 11, 9, 7, 5, 3 dan 1 rakaat.”(23) Apabila di selain
bulan Ramadhan saja beliau melakukan shalat Witir sebanyak 13 atau 11 rakaat,
pantaskah beliau hanya melakukan shalat Witir hanya tiga rakaat saja pada bulan
Ramadhan yang merupakan bulan ibadah?
4. Inkonsisten dalam mengamalkan hadis.
Dalam hadis di atas secara jelas dinyatakan bahwa Nabi
shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah melakukan shalat melebihi
sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain.
Kalau mau konsisten, kawan-kawan yang memahami bahwa sebelas rakaat pada hadis
di atas maksudnya adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir,
seharusnya mereka melakukan shalat Tarawih dan Witir sepanjang tahun, dan bukan
pada bulan Ramadhan saja. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Entah dasar apa yang
mereka pakai untuk memenggal hadis tersebut pada bulan Ramadhan saja.
5. Kontradiksi dengan pemahaman para shahabat
Nabi.
Pemenggalan hadis seperti itu juga bertentangan dengan
konsensus (ijma`) para shahabat radhiyallahu `anhum termasuk
diantaranya Khulafa` al-Rasyidin yang melakukan shalat Tarawih dua puluh
rakaat. Hal itu berarti juga bertentangan dengan tuntunan Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wa sallam. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan
kita untuk mengikuti jejak para Khulafa` al-Rasyidin. Dalam sebuah hadis
disebutkan :
عَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي
“Ikutilah sunnahku dan
sunnah al-Khulafa` al-Rasyidin setelahku!” (HR. Ahmad, Abu Dawud,
al-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan al-Hakim).(24)
Dalam hadis yang lain disebutkan :
اقْتَدُوا
بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِى أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ
“Ikutilah orang-orang setelahku, yaitu Abu Bakar dan
Umar!” (HR. Ahmad,
al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lain-lain).(25)
Dalam hadis yang lain juga disebutkan :
إن الله جعل
الحق على لسان عمر وقلبه
“Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran pada lisan
dan hati Umar.” (HR. Ahmad,
Abu Dawud, al-Hakim, al-Tirmidzi dan lain-lain).(26)
6. Kerancuan linguistik.
Kata tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk
jamak dari kata tarwihah, yang secara kebahasaan berarti
mengistirahatkan atau istirahat sekali. Jika di jamakkan, maka akan berarti
istirahat beberapa kali, minimal tiga kali. Karena minimal jamak dalam bahasa
Arab adalah tiga. Shalat qiyam Ramadhan disebut dengan shalat Tarawih,
karena orang-orang yang melakukannya beristirahat tiap sehabis empat
rakaat.(27)[i] Maka Dari sudut bahasa, shalat
Tarawih adalah shalat yang banyak istirahatnya, minimal tiga kali. Hal ini pada
gilirannya menunjukkan bahwa rakaat shalat Tarawih lebih dari delapan, minimal
enam belas. Karena jika seandainya shalat Tarawih hanya delapan rakaat, maka
istirahatnya hanya sekali. Tentu hal ini sangatlah rancu ditinjau dari segi
kebahasaan.(28)
Kesimpulan
Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa shalat Tarawih
dua puluh rakaat lebih afdhal dibanding delapan rakaat. Dengan dalil
ijma` shahabat di dukung hadis mauquf berkualitas shahih yang
diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-Kubro. Sementara
tidak ada dalil shahih yang mendukung keutamaan shalat Tarawih delapan rakaat
atas shalat Tarawih dua puluh rakaat. Yang ada hanyalah dalil-dalil dha`if, bahkan
matruk (semi palsu) atau dalil shahih yang di salah-pahami.
Namun perlu di ingat, sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, perbedaan ini hanyalah berkisar seputar mana yang lebih afdhal?
Jadi, tidak selayaknya kelompok yang lebih memilih melaksanakan shalat Tarawih
dua puluh rakaat melecehkan atau menyesatkan kelompok yang memilih melakukannya
delapan rakaat. Begitu pula sebaliknya. Apalagi sampai saling mengkafirkan.
Sungguh sangat disesalkan, di bulan Ramadhan yang agung, bulan untuk
berlomba-lomba mencari pahala, berkah, rahmah dan ampunan dari Allah Subhanahu
wa Ta`ala, justru dikotori dengan saling hina, saling menyalahkan bahkan
saling mengkufurkan antara kelompok masyarakat yang lebih memilih shalat
Tarawih sebanyak dua puluh rakaat dengan kelompok masyarakat yang memilih
delapan rakaat saja. Apakah kiranya yang mendorong kedua kelompok ini untuk
tidak pernah berhenti bertikai? Manakah yang lebih berharga bagi mereka antara
persatuan sesama Muslim dibanding sikap arogan, egois, fanatik serta pembelaan
mati-matian terhadap madzhab yang mereka anut? Mengapa toleransi antar umat
beragama yang berbeda lebih mereka perjuangkan daripada persatuan saudara
seagama? Apakah umat non Muslim lebih layak untuk dihormati dan diayomi
dibanding saudara sendiri sesama Muslim?
Sebenarnya kalau mau introspeksi, ada hal yang jauh
lebih penting yang harus mereka perhatikan daripada mengurusi jumlah rakaat
shalat Tarawih orang lain. Yaitu kebiasaan berlomba-lomba untuk terburu-buru
dalam melaksanakan shalat Tarawih serta berbangga diri ketika shalat Tarawihnya
selesai terlebih dahulu. Tidak jarang karena terlalu cepatnya shalat Tarawih
yang mereka lakukan, mengakibatkan sebagian kewajiban tidak dilaksanakan.
Seperti melaksanakan ruku`, i`tidal dan sujud tanpa thuma`ninah atau
membaca al-Fatihah dengan sangat cepat sehingga menggugurkan salah satu
hurufnya atau menggabungkan dua huruf menjadi satu. Dengan begitu, shalat yang
mereka laksanakan menjadi tidak sah, sehingga mereka tidak mendapatkan apa-apa
darinya kecuali rasa capek (tuas kesel : Jawa). Ironisnya mereka tidak
mengerti akan hal itu bahkan membanggakannya, sehingga mereka tidak pernah
mengakui kesalahannya.(29)
Dari itu, waspadalah dan sadarlah wahai
saudara-saudaraku..! Marilah kita bersatu dan saling mengingatkan antara satu
sama lain bi al-hikmah wa al-mau`idzah al-hasanah. Marilah kita
laksanakan shalat Tarawih dan shalat-shalat lainnya dengan benar. Marilah kita
laksanakan shalat dengan khusyu`, khudhur, memenuhi segala syarat dan
rukun serta penuh adab. Jangan biarkan syetan menguasai kita..! karena
sesungguhnya syetan tidak dapat menguasai orang-orang yang beriman dan
bertawakkal kepada Tuhannya. Syetan hanya dapat menguasai orang-orang yang
mengasihinya dan orang-orang yang musyrik. Maka janganlah kita termasuk
diantara mereka.
karya
KH.Ahmad dahlan sangat banyak, soal amaliyah KH.ahmad dahlan dan KH Hasyim
Asy'ary banyak sama, hanya saja pendiri MD itu tidak serujuk dengan tradisi
seperti KENTONGAN, BEDUG, JUBAH, ini tradisi yang melekat lalu di mubahkan oleh
kaidah fqih, dan KH ahmad dahlan tidak serujuk.
qunut, tahlil, ndiba' masih sama, namun ketika beliau wafat dan kemudian MD ingin menyamakan persepsi langkah LAJNAH seperti yang ada di NU (LBH = lembaga bahtsul masail) dan ormas lain di dunia, maka di bentuklak MAJLIS TARJIH,
dari sinilah awal mulanya perbedaan di mulai dan lebih mendekati dengan wahaby, pasalnya sam-sama suka membid'ahkan orang lain, dan tidak mengakui adanya BID'AH HASANAH seperti ketetapan JUMHUR ULAMA SALAFIYAH,
target awal berdirinya MD oleh KH. Ahmad Dahlan adalah untuk kalangan santri perkotaan / yang ada di sekitar kota dengen pengelolaan pendirian sekolah dan rumah sakit islam sebagai bentuk gerakan islam di kota yang pada waktu itu banyak di kuasai asing / china, dan KH. Hasyim Asy'ary menggarap bidang santri umum, dan mendalami keilmuan islam lewat kajian kitab-kitab salaf, tashowuf juga ushuluddin,
tapi ketika MAJLIS TARJIH di dirikian semua berubah dan mengarah pada politik platfrom, di anatar dehumanisasi
laporan selesai, capek ngetik teyusss....
qunut, tahlil, ndiba' masih sama, namun ketika beliau wafat dan kemudian MD ingin menyamakan persepsi langkah LAJNAH seperti yang ada di NU (LBH = lembaga bahtsul masail) dan ormas lain di dunia, maka di bentuklak MAJLIS TARJIH,
dari sinilah awal mulanya perbedaan di mulai dan lebih mendekati dengan wahaby, pasalnya sam-sama suka membid'ahkan orang lain, dan tidak mengakui adanya BID'AH HASANAH seperti ketetapan JUMHUR ULAMA SALAFIYAH,
target awal berdirinya MD oleh KH. Ahmad Dahlan adalah untuk kalangan santri perkotaan / yang ada di sekitar kota dengen pengelolaan pendirian sekolah dan rumah sakit islam sebagai bentuk gerakan islam di kota yang pada waktu itu banyak di kuasai asing / china, dan KH. Hasyim Asy'ary menggarap bidang santri umum, dan mendalami keilmuan islam lewat kajian kitab-kitab salaf, tashowuf juga ushuluddin,
tapi ketika MAJLIS TARJIH di dirikian semua berubah dan mengarah pada politik platfrom, di anatar dehumanisasi
laporan selesai, capek ngetik teyusss....
musta'in syafi'i (dosen dan guru besar UGM, IKAHA, UNAIJ, PARAMADINA, UIN Syarif hidayatullah)
Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asy'ari itu sekawan, sama-sama menunut ilmu agama di Arab Saudi. Sama-sama ahli Hadis dan sama-sama ahli fikih. Saat hendak pulang ke tanah air, keduanya membuat kesepakatan menyebarkan islam menurut skil dan lingkungan masing-masing.
Kiai Ahmad bergerak di bidang dakwah dan pendidikan perkotaan, karena berasal dari kuto Ngayogyokarto. Sementara kiai Hasyim memilih pendidikan pesantren karena wong ndeso, Jombang. Keduanya adalah orang hebat, ikhlas dan mulia. Allahumm ighfir lahum.
Keduanya memperjuangkan kemerdekaan negeri ini dengan cara melandasi anak bangsa dengan pendidikan dan agama. Kiai Ahmad mendirikan organisasi Muhammadiyah dan kiai Hasyim mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). Saat beliau berdua masih hidup, tata ibadah yang diamalkan di masyarakat umumnya sama meski ada perbedaan yang sama sekali tidak mengganggu.
Contoh kesamaan praktek ibadah kala itu antara lain : Pertama, shalat tarawih, sama-sama dua puluh rakaat. Kiai Ahmad Dahlan sendiri disebut-sebut sebagai imam shalat tarawih dua puluh rakaat di masjid Syuhada Yogya. Kedua, talqin mayit di kuburan, bahkan ziarah kubur dan kirim doa dalam Yasinan dan tahlilan (?). Ketiga, baca doa qunut Shubuh. Keempat, sama-sama gemar membaca shalawat (diba'an).
Kelima, dua kali khutbah dalam shalat Id, Idul Ftri dan Idul Adha. Keenam, tiga kali takbir, "Allah Akbar", dalam takbiran. Ketujuh, kalimat Iqamah (qad qamat al-shalat) diulang dua kali, dan yang paling monumental adalah itsbat hilal, sama-sama pakai rukyah. Yang terakhir inilah yang menarik direnungkan, bukan dihakimi mana yang benar dan mana yang salah.
Semua amaliah tersebut di atas berjalan puluhan tahun dengan damai dan nikmat. Semuanya tertulis dalam kitaf Fikih Muhammadiayah yang terdiri dari tiga jilid, yang diterbitkan oleh : Muhammadiyah Bagian Taman Pustaka Jogjakarta, tahun 1343an H. Namun ketika Muhammadiyah membentuk Majlis Tarjih, di sinilah mulai ada penataan praktik ibadah yang rupanya " harus beda " dengan apa yang sudah mapan dan digariskan oleh pendahulunya. Otomatis berbeda pula dengan pola ibadahnya kaum Nahdhiyyin. Perkara dalail, nanti difikir bareng dan dicari-carikan.
Disinyalir, tampil beda itu lebih dipengaruhi politik ketimbang karena keshahihan hujjah atau afdhaliah ibadah. Untuk ini, ada sebuah Tesis yang meneliti Hadis-hadis yang dijadikan rujukan Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam menetapkan hukum atau pola ibadah yang dipilih.
Setelah uji takhrij berstandar mutawassith, kesimpulannya adalah : bahwa mayoritas Hadis-Hadis yang pakai hujjah Majlis Tarjih adalah dha'if. Itu belum dinaikkan pakai uji takhrij berstandar mutasyaddid versi Ibn Ma'in. Hal mana, menurut mayoritas al-Muhadditsin, hadis dha'if tidak boleh dijadikan hujjah hukum, tapi ditoleransi sebagai dasar amaliah berfadhilah atau Fadha'il al-a'mal. Tahun 1995an, Penulis masih sempat membaca tesis itu di perpustakaan Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Ygyakarta.
Soal dalil yang dicari-carikan kemudian tentu berefek pada perubahan praktik ibadah di masyarakat, kalau tidak disebut sebagai membingungkan. Contoh, ketika Majlis Tarjih memutuskan jumlah rakaat shalat Tarawih depalan plus tiga witir, bagaimana praktiknya ?.
Awal-awal instruksi itu, pakai komposisi : 4,4,3. Empat rakaat satu salam, empat rakaat satu salam. Ini untuk tarawih. Dan tiga rakaat untuk witir. Model witir tiga sekaligus ini vrsi madzahab Hanafi. Sementara wong NU pakai dua-dua semua dan ditutup satu witir. Ini versi al-Syafi'ie.
Tapi pada tahun 1987, praktik shalat tarawih empat-empat itu diubah menjadi dua-dua. Hal tersebut atas seruan KH Shidiq Abbas Jombang ketika halaqah di masjid al-Falah Surabaya. Beliau tampilkan hadis dari Shahih Muslim yang meriwayatkan begitu. Karena, kualitas hadis Muslim lebih shahih ketimbang Hadis empat-empat, maka semua peserta tunduk. Akibatnya, tahun itu ada selebaran keputusan majlis tarjih yang diedarkan ke semua masjid dan mushallah di lingkungan Muhammadiyah, bahwa praktik shalat tarawih pakai komposisi dua-dua, hingga sekarang, meski sebagian masih ada yang tetap bertahan pada empat-empat termasuk di kawasan kota bandung banyak yang masih trawih empat rekaat salam. Inilah fakta sejarah.
padahal imam HANAFI yang termasuk menjadi sedikit acuan MD mengharamkan trawih empat. malahan imam syafi'i yang memakruhkan trawih empat, itupun di khususkan untuk orang dalam shofar.
Alhamdulillah,dalam tubuh NU sendiri terdapat perbedaan pendapat dalam masalah2 tertentu,Wahabi pun berbeda pendapat,bahkan ada yg tidak membenarkan orang yg membatasi sholat tarawih hanya 11 Rokaat saja,Jika ada suatu hal yg mengganjal tanyalah baik2 kepada Ustadz2 Wahabi dengan cara yg ma'ruf,Insya Allah mereka juga akan menanggapi dngan baik pula.
BalasHapusIstimewa Yogyakarta, ternyata memiliki sejarah yang menarik. Masjid yang dibangun pada tanggal 20 September 1952 ini adalah masjid pemberian Presiden Soekarno kepada para pejuang kemerdekaan yang bertempur di Yogyakarta. (http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/07/masjid-syuhada-yogyakarta-perpaduan-nasionalisme-dan-nilai-islami)
BalasHapusKyai Haji Ahmad Dahlan (lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 – meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar... (http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Dahlan)
So,
apakah mungkin Pak Kh Ahmad Dahlan mengimami Sholat Tarawih 23 Rakaat di Masjid Syuhada'..???
Karena ingin meluruskan pendapat dari sodara2'Q PCNU Gunungkidul... Bkn bermaksud menyinggung hlo ya, tp te2p saya minta maaf yaks.... ^_^
Connections, or social-passionate associations, support health at each level. Individuals with profound, significant connections, both personal wellness Pitch and well disposed, will generally be all the more truly dynamic.
BalasHapus